.
BIO'S AREA
WELCOME TO MY BLOG
Powered By Blogger

Kamis, 03 Juni 2010

-Herpes Simpleks-

Herpes simpleks merupakan suatu infeksi virus yang disebabkan oleh virus herpes simplek tipe I dan II (HSV-I dan HSV-II). HSV-I sering menyerang daerah sekitar mulut (herpes labialis), sedangkan HSV-II sering mengenai daerah genital (herpes genitalis). Namun karena adanya oral seks atau oro-genital seks maka baik HSV-I maupun HSV-II dapat mengenai daerah sekitar mulut maupun genital. Bentuk serangan HSV pada seorang individu dapat berupa infeksi primer, episode I non primer, rekuren dan asimptomatik. Angka kejadian infeksi herpes simplek meningkat setiap tahunnya. Data di Amerika Serikat menyebutkan bahwa ditemukan 1,5 juta kasus baru yang diakibatkan karena transmisi HSV melalui hubungan seksual, dimana seorang wanita yang terinfeksi dapat menularkan HSv pada pasangannya sebesar 4-5 %, namun apabila laki-laki yang terinfeksi maka kemungkinan untuk menstransmisikan HSV pada pasangannya sebesar 8-10%.

Gambar virus herpes simpleks

GEJALA
Gejala herpes simpleks dapat bervariasi dari satu individu ke individu lain. Infeksi pertama berlangsung lebih lama dan lebih berat, kira-kira 3 minggu dan sering disertai gejala lain seperti demam, lemas, nyeri di sekitar mulut, tidak mau makan dan dapat ditemukan pembengkakan kelenjar getah bening. Gejala utamanya berupa vesikel yang berkelompok di atas kulit yang sembab dan merah, berisi cairan jernih dan kemudian menjadi keruh, terkadang gatal dan dapat menjadi krusta. Krusta ini kemudian akan lepas dari kulit dan memperlihatkan kulit yang berwarna merah jambu yang akan sembuh tanpa bekas luka. Vesikel ini dapat timbul di tubuh bagian mana saja, namun paling sering timbul di daerah sekitar mulut, hidung, daerah genital dan bokong. Setelah itu, penderita masuk dalam fase laten, karena virus tersebut sebenarnya masih terdapat di dalam tubuh penderita dalam keadaan tidak aktif di dalam ganglion (badan sel saraf), yang mempersarafi rasa pada daerah yang terinfeksi. Pada fase ini tidak ditemukan gejala klinis.

Gambar herpes simpleks pada bibir

Gambar herpes simpleks pada organ kelamin

Gejala klinis yang dapat ditimbulkan infeksi HSV dapat dilihat pada tabel sebagai berikut :
Gejala Klinis Prosentase Infeksi Virus
Lesu 85 %
Gangguan Pernafasan 60 %
Bisul Berair 60 %
Suhu panas atau dingin 50 %
Pendarahan 50 %
Hepato megali 50 %
Kelainan jaringan syaraf pusat 40 %
Kulit kuning 30 %
Kulit biru 20 %
Radang selaput lendir mata 10 %
Korioretinis 10 %
Kematian 70 %


PENULARAN VIRUS HERPES SIMPLEKS
Ada 2 cara penularan virus herpes simpleks yaitu secara horizontal dan secara vertical.
1. Horizontal
Transmisi secara horisontal terjadi ketika seorang individu yang seronegatif berkontak dengan individu yang seropositif melalui vesikel yang berisi virus aktif (81-88%), ulkus atau lesi HSV yang telah mengering (36%) dan dari sekresi cairan tubuh yang lain seperti salivi, semen, dan cairan genital (3,6-25%). Adanya kontak bahan-bahan tersebut dengan kulit atau mukosa yang luka atau pada beberapa kasus kulit atau mukosa tersebut intak maka virus dapat masuk kedalam tubuh host yang baru dan mengadakan multiplikasi pada inti sel yang baru saja dimasukinya untuk selanjutnya menetap seumur hidup dan sewaktu-waktu dapat menimbulkan gejala khas yaitu timbulnya vesikel kecil berkelompok dengan dasar eritem.
2. Vertikal
Transmisi HSV secara vertikal terjadi pada neonatus baik itu pada periode antenatal, intrapartum dan postnatal. Periode antenatal bertanggung jawab terhadap 5 % dari kasus HSV pada neonatal. Transmisi ini terutama terjadi pada saat ibu mengalami infeksi primer dan virus berada dalam fase viremia (virus berada dalam darah) sehingga secara hematogen virus tersebut dalam masuk ke dalam plasenta mengikuti sirkulasi uteroplasenter akhirnya menginfeksi fetus. Periode infeksi primer ibu juga berpengaruh terhadap prognosis si bayi, apabila infeksi terjadi pada trimester I biasanya akan terjadi abortus dan pada trimester II akan terjadi kelahiran prematur. Bayi dengan infeksi HSV antenatal mempunyai angka mortalitas ± 60 % dan separuh dari yang hidup tersebut akan mengalami gangguan syaraf pusat dan mata. Infeksi primer yang terjadi pada masa-masa akhir kehamilan akan memberikan prognosis yang lebih buruk karena tubuh ibu belum sempat membentuk antobodi (terbentuk 3-4 minggu setelah virus masuk tubuh host) untuk selanjutnya disalurkan kepada fetus sebagai suatu antibodi neutralisasi transplasental dan hal ini akan mengakibatkan 30-57% bayi yang dilahirkan terinfeksi HSV dengan berbagai komplikasinya (mikrosefali, hidrosefalus, calsifikasi intracranial, chorioretinitis dan ensefalitis).
Sembilan puluh persen infeksi HSV neonatal terjadi saat intrapartum yaitu ketika bayi melalui jalan lahir dan berkontak dengan lesi maupun cairan genital ibu. Ibu dengan infeksi primer mampu menularkan HSV pada neonatus 50 %, episode I non primer 35% , infeksi rekuren dan asimptomatik 0-4%.

PENCEGAHAN TERTULARNYA VIRUS HERPES SIMPLEKS
• Pencegahan transmisi HSV secara horisontal ini dapat dilakukan dengan menggunakan suatu barrier protection (kondom) untuk mencegah kontak dengan cairan genital yang mengandung virus. Kondom yang terbuat dari latek menyebabkan virus tidak dapat melaluinya serta kandungan spermatisid (nonoxynol-9) dapat membunuh virus secara invitro. Efektivitas kondom sebagai pencegah transmisi HSV hanya sekitar 25 %, karena keterbatasan kondom yang tidak dapat menutup semua bagian penis (batang penis) maka hal itu masih memungkinkan adanya kontak dengan cairan genital yang mengandung virus. Oleh karena itu pembilasan cairan genital setelah berhubungan seksual dan penggunaan antivirus pada individu yang seropositif dapat lebih meningkatkan efektifitas pencegahan transmisi menjadi sekitar 75%. Pencegahan kontak dengan saliva penderita HSV dapat dilakukan dengan menghindari berciuman dan menggunakan alat-alat makan penderita serta menggunakan obat kumur yang mengandung antiseptik yangcdapat membunuh virus sehingga menurunkan risiko tertular.
• Pencegahan transmisi secara vertical dapat dilakukan dengan deteksi ibu hamil dengan screning awal di usia kehamilan 14-18 minggu, selanjutnya dilakukan kultur servik setiap minggu mulai dari minggu ke-34 kehamilan pada ibu hamil dengan riwayat infeksi HSV serta pemberian terapi antivirus supresif (diberikan setiap hari mulai dari usia kehamilan 36 minggu dengan acyclovir 400mg 3×/hari atau 200mg 5×/hari) yang secara signifikan dapat mengurangi periode rekurensi selama proses persalinan (36% VS 0%). Namun apabila sampai menjelang persalinan, hasil kultur terakhir tetap positif dan terdapat lesi aktif didaerah genital maka pelahiran secara secar menjadi pilihan utama. Periode postnatal bertanggungjawab terhadap 5-10% kasus infeksi HSV pada neonatal. Infeksi ini terjadi karena adanya kontak antara neonatus dengan ibu yang terinfeksi HSV (infeksi primer HSV-I 100%, infeksi primer HSV-II 17%, HSV-I rekuren 18%, HSV-II rekuren 0%) dan juga karena kontal neonatus dengan tenaga kesehatan yang terinfeksi HSV.
PENGOBATAN
Untuk mengobati herpes simpleks, dokter dapat memberikan pengobatan antivirus dalam bentuk krim atau pil. Pengobatan ini tidak dapat menyembuhkan herpes simpleks, namun dapat mengurangi durasi terjadinya penyakit dan mengurangi beratnya penyakit. Antivirus yang diakui oleh FDA (badan pengawas obat-obatan Amerika Serikat) antara lain: Acyclovir, Valacyclovir dan Famcyclovir. Jika seseorang sedang mendapat pengobatan untuk herpes simpleks, maka pasangan seksualnya disarankan untuk diperiksa, dan bila perlu, diobati juga walaupun tidak ada gejala. Hal ini akan mengurangi resiko terjadinya komplikasi yang serius pada infeksi herpes simpleks yang tidak terdiagnosis atau mencegah penyebaran infeksi ini ke orang lain. Mereka juga disarankan untuk tidak berhubungan seksual sampai selesai pengobatan.

Malassezia, Penyebab Utama Ketombe

Data ini telah dipersentasikan oleh para peneliti P&G dalam acara Kongres Dermatologi Dunia (World Congress of Dermatology) beberapa waktu lalu. Mereka menyatakan bahwa ketombe bukan disebabkan oleh menumpuknya jamur Malassezia furfur (M. furfur) seperti yang kita ketahui sebelumnya. Ketombe biasa banyak menyerang lebih dari 50 persen orang Kaukasia dan 80 persen orang Afrika, yang disebabkan buangan protein dari dua jenis jamur Malassezia yang lain yaitu M. restricta dan M. globosa.
Dalam suatu penelitian yang dilakukan beauty care senior scientist P&G, Thomas Dawson JR Ph.D dalam judul ”Fast, Non-invansive Method for Molecular Detection and Speciation of Malassezia on Human Skin, and Application to Dandruff Microbiology”, bahwa dari 70 responden yang menderita ketombe ditemukan adanya jenis jamur Malassezia. Dalam kasus ini, ditemukan 70 persen jamur M. restricta dan 45 persen jamur M. globosa, sedangkan jamur M furfur tidak terdeteksi pada semua responden.
Malassezia adalah genus jamur lipophilic yang merupakan bagian dari flora normal kulit kepala manusia. M restricta dan M globosa memakan protein dari folikel rambut. Penyerapan sebagian protein yang tinggal di kulit menyebabkan iritasi di kulit kepala yang menyebabkan terjadinya ketombe.
”Kami telah mempelajari ketombe dan kondisi kulit kepala lainnya selama beberapa tahun, memfokuskan kepada organisme tertentu yang menyebabkan terjadinya penyimpangan,” kata Dr Dawson.
”Kami harap data-data ini dapat memberikan masukan kepada perkembangan perawatan ketombe dengan pendekatan baru,” tambahnya.
”Data-data baru mengenai penyebab sebenarnya dari ketombe adalah langkah maju yang besar dalam memahami ketombe, yang akan berguna untuk komunitas ahli kulit,” ujar Boni Elewski MD, profesor kulit di Universitas Alabama, Birmingham.
”Penelitian ini memungkinkan untuk perkembangan penanganan anti-ketombe yang lebih efektif, dan tidak hanya mengatasi keadaan, tetapi dapat juga membantu mencegah timbulnya ketombe,” lanjut Boni.



Pneumocystis pneumonia


Pneumocystis pneumonia (PCP) adalah suatu bentuk pneumonia yang disebabkan oleh ragi (yeast) Pneumocystis jirovecii. Jenis jamur ini khusus untuk manusia dan tidak terlihat menginfeksi hewan lainnya.
Pneumocystis jirovecii kista dari bronchoalveolar lavage, 
 
diwarnai dengan O Toluidin biru


Kondisi penyakit PCP yang disebabkan oleh P. jirovecii ini relatif jarang terjadi pada masyarakat dengan sistem kekebalan normal, tetapi umum terjadi di kalangan orang-orang dengan sistem kekebalan tubuh yang lemah , seperti bayi prematur, anak-anak yang tidak terpelihara dengan baik, orang yang sangat tua, dan penderita AIDS. PCP juga dapat berkembang pada pasien yang mengambil obat immunosuppressant (misalnya pasien yang telah mengalami transplantasi organ) dan pada pasien yang telah mengalami transplantasi sumsum tulang.
Gejala
Gejala PCP yaitu demam, batuk tidak produktif (karena dahak terlalu kental), sesak nafas (perlu pengerahan tenaga untuk bernapas dibanding biasanya), kehilangan berat badan, dan sering berkeringat malam. Biasanya tidak terdapat dahak dalam jumlah besar pada pasien PCP kecuali pasien yang memiliki tambahan infeksi bakteri. Jamur dapat menginfeksi organ dalam seperti hati, limpa dan ginjal, namun hanya dalam kasus minoritas.
Pathophysiology
Risiko radang paru-paru karena Pneumocystis jirovecii meningkat bila tingkat sel CD4 positif kurang dari 200 sel / μl. Pada individu yang immunosuppressed (imun tertekan) manifestasi dari infeksi sangat variatif. Penyakit menyerang usus kecil, dan jaringan serat paru-paru (sehingga oksigen kurang mampu membaur ke dalam darah, yang mengarah ke hypoxia – karbon dioksida (CO2) terikat sehingga menyebabkan kesulitan bernafas).
Diagnosis
Diagnosis dapat dikonfirmasi oleh karakteristik tampilan pada x-ray dada yang menunjukkan luasan invasi PCP pada paru-paru (pulmonary infiltrates), dan tingkat oksigen arterial (pO2). Diagnosis dapat dikonfirmasi melalui identifikasi histologik dari organisme kausatif di dahak atau bronchio-alveolar lavage (pencucian paru-paru). Noda yang terlihat dengan toluidine biru, perak atau pewarnaan logam immunofluorescence, akan menunjukkan karakteristik cysta jamur ini.
Infeksi Pneumocystis juga dapat didiagnosis melalui immunofluorescent atau penandaaan histochemical dari specimen (sampel), dan metode lain yang terbaru adalah dengan analisis molekular pada produk reaksi polymerase chain yaitu dengan membandingkan sampel DNA. Sebagai catatan, deteksi molekuler sederhana Pneumocystis jirovecii dengan cairan paru-paru tidak bisa menunjukkan seseorang itu telah menderita Pneumocystis pneumonia atau infeksi HIV. Jamur yang tampak juga hadir pada individu sehat di masyarakat umum.
Kausal Agen:
Pneumocystis jirovecii (sebelumnya diklasifikasikan sebagai Pneumocystis carinii) sebelumnya diklasifikasikan sebagai protozoa. Saat ini, dianggap sebagai jamur yang didasarkan pada asam nukleat dan analisis biokimia.
Penularan
Siklus hidup lengkap dari salah satu jenis Pneumocystis masih belum diketahui sampai saat ini, namun melihat banyaknya kasus penyakit ini yang menginfeksi paru-paru memungkinkan bahwa penularan kebanyakan melalui pernafasan.
siklus hidup menurut John J. Ruffolo, Ph.D. (Cushion, MT, 1988)untuk pneumonia berbagai jenis. Jamur ini ditemukan di paru-paru mamalia, mereka ttidak menunjukkan gejala yang menyebabkan infeksi sampai sistem kekebalan tubuh inang menjadi lemah. seringkali dapat mengakibatkan radang paru-paru yang mematikan. Aseksual fase: meniru bentuk trophic karena mitosis. seksual fase: trophic haploid bentuk konjugat dan menghasilkan sebuah zigot atau sporocyte (awal kista). zigot mengalami meiosis dan mitosis berikutnya untuk menghasilkan delapan nukleus haploid (akhir fase kista). Spora menunjukkan bentuk yang berbeda (misalnya, berbentuk bola dan bentuk memanjang). Hal ini menunjukkan bahwa elongasi dari spora mendahului pertumbuhan spora. Hal ini diyakini bahwapembentukan terjadi melalui peminjaman dinding sel. Tahap trophic di mana mungkin organismememperbanyak dengan pembelahan biner.
Siklus hidup Pneumocystis jirovecii:






Perawatan
Obat-obatan Antipneumocystic sering digunakan bersamaan dengan obat steroid untuk menghindari peradangan. Obat yang paling umum digunakan adalah obat kombinasi trimethoprim dan sulfamethoxazole (co-trimoxazole, dengan nama dagang Bactrim, Septrin, atau Septra), tetapi beberapa pasien tidak dapat mentolerir perlakuan ini karena alergi. Obat lain yang digunakan tersendiri atau dikombinasikan yaitu pentamidine, trimetrexate, dapsone, atovaquone, primaquine, pafuramidine meleate (dalam penyelidikan), dan clindamycin. Pengobatan biasanya untuk jangka waktu sekitar 21 hari.
Pentamidine jarang digunakan karena tingginya frekuensi efek samping (pancreatitis akut, gagal ginjal, hepatotoxicity, leukopenia, ruam, demam dan hypoglycaemia)

Sporothrix schenckii


Sporothrix schenckii adalah jamur yang sering ditemukan di semak-semak bunga mawar, barberi, lumut sfagnum dan jerami. Ia tampak sebagai sel-sel bertunas yang gram-positif, berbentuk bulat kecil sampai berbentuk cerutu dan merupakan jamur dimorfik. Pada biakan dalam suhu kamar dengan agar Sabouraud, dalam 3-5 hari terbentuk koloni-koloni berwarna cokelat sampai hitam, melipat, menyerupai kulit (pembentukan pigmen dari berbagai strain S schenckii bervariasi). Konidia sederhana berbentuk ovoid terdapat berkelompok pada ujung konidiofor yang ramping dan panjang (menyerupai bunga aster). Biakan pada suhu 37◦C akan menghasilkan sel-sel bertunas berbentuk sferis sampai ovoid. Koloni-koloni mudanya kadang berwarna putih pada suhu 25◦C atau ketika diinkubasi pada suhu 37°C untuk menghasilkan fase ragi sebagai salah satu bentuk dimorfiknya. Sedangkan koloni-koloni yang lebih tua akan menjadi berwarna hitam untuk memproduksi konidia hitam yang nantinya akan muncul langsung dari hifa sebagai fase keduanya. Demikanlah proses tersebut terus berjalan hingga terbentuk lagi generasi berikutnya.
Penyakit yang ditimbulkan adalah Sporotrikosis. Biasanya menyerang kulit dan pembuluh getah bening di sekitarnya, kadang-kadang mengenai paru-paru dan jaringan lainnya. Jamur ini dapat masuk ke dalam kulit melalui tusukan duri dari tanaman atau tusukan barang tajam lainnya. Bisa juga pada waktu menangani tanaman sejenis lumut atau pada waktu menangani potongan kayu atau pohon. Gejalanya dimulai pada jari-jari tangan dengan nodul (benjolan) kecil-kasar yang secara perlahan membesar dan membentuk sebuah luka. Jamur ini tidak ditularkan dari orang ke orang.
Pengobatannya bisa dengan itrakonazol per-oral (melalui mulut). Bisa juga diberikan kalium-yodida per-oral, Untuk infeksi yang meluas, diberikan amfoterisin B intravena (melalui pembuluh darah).
Sporothrix schenckii juga dijuluki sebagai rose picker’s disease karena Sporothrix schenckii adalah jamur yang sering ditemukan di semak-semak bunga mawar, barberi, lumut sfagnum dan jerami. Dan pada bunga mawar, biasanya dia hidup pada durinya, dan jamur ini dapat masuk ke dalam tubuh manusia apabila manusia tertusuk oleh durinya. Maka tak heran, sehingga yang sering terkena adalah petani, tukang kebun dan holtikulturis. Sporothrix schenckii tersebar luas di alam pada tumbuh-tumbuhan (khususnya sfagnum di AS), duri, sisa-sisa kayu ; dalam tanah ; dan pada hewan yang terinfeksi.
Sporothrix schenckii adalah suatu jamur dimorfik yang hidup pada tumbuh-tumbuhan atau kayu. Dimorfik adalah suatu bentuk perkembangbiakan dari jamur, dimana terjadi dua fase sekaligus (generatif ataupun vegetatif).
Perlu dicurigai suatu sporotrikosis bila ditemukan adanya nodul dan luka yang khas. Diagnosis ditegakkan berdasarkan ditemukannya Sporothrix pada biakan jaringan yang terinfeksi. Berikut beberapa cara pemberantasan berikut pencegahannya:
A. Tindakan pencegahan
Pada industri pengolahan kayu, kayu hendaknya diberi fungisida didaerah dimana sporotrochosis sering terjadi. Pakailah sepatu bot, baju lengan panjang jika bekerja mengolah Sphagnum moss (sejenis lumut yang dipakai oleh tukang bunga untuk menancapkan kembang dalam vas bunga).
B. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan.
Disinfeksi serentak: Disinfeksi dilakukan terhadap discharge dan pembalut luka. Pembersih terminal.
Investigasi kontak dan sumber infeksi: cari dan temukan penderita yang belum terdiagnosa dan yang belum diobati.
C. Upaya penanggulangan wabah:
Pada waktu terjadi wabah di Afrika Selatan pada pekerja tambang dilakukan penyemprotan terhadap kayu-kayu yang dipakai dipertambangan menggunakan zinc sulfate dan triolith. Selain itu dilakukan juga upaya sanitasi. Nah, itu tadi adalah cara pemberantasan dan penaggulangan.
Infeksi pada kulit biasanya menyebar sangat lambat dan jarang berakibat fatal. Penderita masih dapat diobati Pengobatannya bisa dengan itrakonazol per-oral (melalui mulut). Bisa juga diberikan kalium-yodida per-oral, tapi tidak efektif dan menimbulkan efek samping seperti ruam dan peradangan mata, mulut dan tenggorokan. Pengobatan spesifik: Iodida oral dan itraconazole efektif untuk mengatasi infeksi limfokutaneus, sedangkan untuk infeksi ekstrakutaneus adalah amphotericin B (Fungizone ®), itraconazole juga efektif. Untuk infeksi yang meluas, diberikan amfoterisin B intravena (melalui pembuluh darah)